KEWAJIBAN MENGAGUNGKAN DALIL



الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَلَهُ الْحَمْدُ فِي الْآخِرَةِ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ، وَأُصَلِّي وَأُسَلِّمُ عَلَى عَبْدِهِ مُحَمَّدٍ الْبَشِيرِ النَّذِيرِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنِ اتَّبَعَهُمْ إِلَى يَوْمِ الْمَصِيرِ.

Segala puji bagi Allah yang memiliki apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan bagi-Nya segala puji di akhirat. Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Aku bersalawat dan mengucapkan salam kepada hamba-Nya, Muhammad, sang pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, serta kepada keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka hingga hari kiamat.

Amma ba’du,

Sesungguhnya termasuk bagian dari mengagungkan Allah dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam adalah mengagungkan dalil-dalil Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Al-Qur'an adalah kalamullah (firman Allah) yang Dia berfirman tentangnya:

{وَإِنَّهُ لَتَنْزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ * نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ * عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ * بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ * وَإِنَّهُ لَفِي زُبُرِ الْأَوَّلِينَ}

"Dan sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas. Dan sesungguhnya Al Quran itu benar-benar (tersebut) dalam Kitab-kitab orang yang dahulu." (QS. Asy-Syu'ara: 192-196).

Dan As-Sunnah adalah ucapan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam yang Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman tentangnya:

{وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى * إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى}

"Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)." (QS. An-Najm: 3-4).

Mengagungkan ucapan adalah bagian dari mengagungkan Yang Mengucapkannya. Sesungguhnya mengagungkan dalil-dalil Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah bentuk ketulusan (nasihat) kepada Allah, Kitab-Nya, dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam.

Ia juga merupakan bentuk memenuhi panggilan wajib kepada Allah dan Rasul:

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ}

"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu." (QS. Al-Anfal: 24).

Dan sesungguhnya mengagungkannya adalah bagian dari penyerahan diri (wajah) kepada Allah:

{وَمَنْ يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى}

"Dan barangsiapa yang menyerahkan wajahnya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh." (QS. Luqman: 22).

Wahai kaum Muslimin,

Sesungguhnya mengagungkan dalil-dalil syar’i mencakup sepuluh perkara. Barangsiapa yang merealisasikannya, maka sungguh ia telah menunaikan kewajiban yang agung ini:

Pertama: Mengambilnya dengan rasa cinta, pembenaran, dan keyakinan, serta memandangnya dengan pengagungan, pemuliaan, dan penghormatan. Kadar ini adalah fardu (kewajiban) yang tidak ada toleransi di dalamnya. Barangsiapa yang meremehkannya dengan hatinya, atau merendahkannya dengan ucapan atau perbuatannya, maka ia telah menjatuhkan dirinya ke dalam jurang kebinasaan, kecuali jika Allah menyelamatkannya dan memberinya taufik untuk bertaubat dengan taubat nasuha.

Kedua: Meyakini bahwa dalil-dalil itu adalah kebenaran murni yang suci dari kekurangan, kesalahan, dan pertentangan, serta meyakini bahwa ia adalah satu-satunya sebab menuju hidayah yang sempurna dan kebahagiaan yang paripurna. Allah berfirman:

{ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ}

"Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 2).

Dan Allah berfirman:

{قُلْ إِنْ ضَلَلْتُ فَإِنَّمَا أَضِلُّ عَلَى نَفْسِي وَإِنِ اهْتَدَيْتُ فَبِمَا يُوحِي إِلَيَّ رَبِّي}

"Katakanlah: 'Jika aku sesat, maka sesungguhnya aku sesat atas kemudaratan diriku sendiri; dan jika aku mendapat petunjuk, maka itu adalah disebabkan apa yang diwahyukan Tuhanku kepadaku'." (QS. Saba': 50).

Sungguh teks-teks Al-Qur'an dan As-Sunnah telah menghimpun seluruh sisi kebaikan dalam urusan agama, dunia, kehidupan sehari-hari, dan tempat kembali (akhirat). Tidak ada kebaikan kecuali dalil telah menunjukkannya, tidak ada keburukan kecuali dalil telah memperingatkannya, dan tidak ada kemaslahatan kecuali dalil telah menghasilkannya.

{وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ}

"Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri." (QS. An-Nahl: 89).

Maka kita adalah orang-orang bodoh kecuali jika kita mengambil ilmu darinya, dan kita adalah orang-orang sesat kecuali jika kita mengikutinya. Seseorang berkata kepada Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma: "Kami mendapati shalat khauf dan shalat hadhar (mukim) di dalam Al-Qur'an, tetapi kami tidak mendapati shalat safar?" Maka beliau menjawab:

إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى بَعَثَ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا نَعْلَمُ شَيْئًا، فَإِنَّمَا نَفْعَلُ كَمَا رَأَيْنَا مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُ

"Sesungguhnya Allah Ta'ala mengutus Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dalam keadaan kita tidak mengetahui apa-apa, maka sesungguhnya kita hanya melakukan sebagaimana kita melihat Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam melakukannya."

Ketiga: Di antara bentuk mengagungkan teks Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah beriltizam (berkomitmen) terhadapnya, yakni meyakini kewajiban untuk mengambil dan mengamalkannya. Tidak diperkenankan bagi siapa pun, setinggi apa pun kedudukannya, untuk keluar darinya. Ini juga merupakan kewajiban pasti yang tidak ada pilihan lain:

{وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ}

"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka." (QS. Al-Ahzab: 36).

Benar, inilah kebenaran yang tidak ada keraguan di dalamnya. Jika telah datang perintah dari Allah atau Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam, maka kedudukannya adalah keseriusan, bukan main-main. Tidak ada pilihan lain selain menerima dan tunduk.

Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam meminta kunci Ka'bah dari Utsman bin Thalhah radhiyallahu 'anhu, Utsman pergi kepada ibunya, Sulafah, untuk meminta kunci itu. Ibunya enggan memberikannya. Maka Utsman berkata:

وَاللَّهِ لَتُعْطِينَّهُ أَوْ لَيَخْرُجَنَّ هَذَا السَّيْفُ مِنْ صُلْبِي

"Demi Allah, engkau berikan kunci itu atau pedang ini akan keluar dari punggungku."

Ini adalah perintah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, bukan perintah orang lain. Ketika ibunya melihat kesungguhan itu, ia memberikannya. Lalu Utsman membawanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan pintu Ka'bah pun dibuka.

Keempat: Meyakini hakimiyah-nya (otoritas hukumnya). Sesungguhnya dalil adalah hakim atas segala sesuatu, berkuasa atas segala sesuatu, dan ia yang didahulukan. Setiap perkataan, pendapat, mazhab, atau undang-undang selainnya harus diakhirkan (dibelakangkan).

{إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ}

"Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. 'Kami mendengar, dan kami patuh'. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung." (QS. An-Nur: 51).

Allah berfirman:

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ}

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-Hujurat: 1).

{فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا}

"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (QS. An-Nisa: 65).

Sesungguhnya pendapat-pendapat dan ijtihad-ijtihad yang tidak disinari oleh cahaya wahyu hanyalah kegelapan yang menakutkan, tidak menghilangkan dahaga dan tidak menyembuhkan orang sakit. Para pendahulu kita yang saleh (Salafus Shalih) telah memberikan pelajaran agung dalam mengagungkan kehormatan teks-teks (dalil) dan ketundukan padanya serta menjauhi pertentangan terhadapnya.

Dari Rafi' bin Khadij radhiyallahu 'anhu ia berkata tentang larangan menyewakan tanah:

نَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَمْرٍ كَانَ لَنَا نَافِعًا، وَطَوَاعِيَةُ اللَّهِ وَرَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْفَعُ لَنَا

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kita dari perkara yang sebenarnya bermanfaat bagi kita, namun ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam lebih bermanfaat bagi kita."

Dalam riwayat lain:

وَأَمْرُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الرَّأْسِ وَالْعَيْنِ

"Perintah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di atas kepala dan mata (kami junjung tinggi)."

Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma pernah ditanya tentang Haji Tamattu', lalu beliau memerintahkannya. Dikatakan kepadanya: "Sesungguhnya engkau menyelisihi ayahmu (Umar bin Khattab)?" Ketika mereka terus mendesaknya, ia berkata:

أَفَكِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَحَقُّ أَنْ يُتَّبَعَ أَمْ عُمَرُ؟

"Apakah Kitab Allah 'Azza wa Jalla yang lebih berhak diikuti ataukah Umar?"

Dan inilah Salim bin Abdullah bin Umar menyelisihi ayah dan kakeknya dalam sebuah masalah haji, ia berkata: "Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lebih berhak untuk diikuti."

Allah Yang Maha Agung telah bersumpah dengan diri-Nya sendiri:

لَقَدْ أَقْسَمَ اللَّهُ الْعَظِيمُ بِنَفْسِهِ *** قَسَمًا يُبَيِّنُ حَقِيقَةَ الْإِيمَانِ

أَنْ لَيْسَ يُؤْمِنُ مَنْ يَكُونُ مُحَكِّمًا *** غَيْرَ الرَّسُولِ الْوَاضِحِ الْبُرْهَانِ

Allah Yang Maha Agung telah bersumpah dengan diri-Nya sendiri, Sumpah yang menjelaskan hakikat keimanan. Bahwa tidaklah beriman orang yang menjadikan hakim, Selain Rasul yang memiliki bukti yang nyata.

Sesungguhnya apa yang Anda dengar tadi adalah sikap mereka terhadap ijtihad para ulama yang terpercaya dan teliti, yang mana para ulama itu pun sejatinya ingin mengikuti wahyu. Lalu bagaimana seandainya mereka mendapati ujian yang menimpa manusia di masa lalu dan masa kini berupa seruan-seruan sesat yang mencela Al-Qur'an dan As-Sunnah, atau meragukan otoritas hukum keduanya?

Atau yang mendesak keduanya dengan sampah-sampah pemikiran seperti klaim mendahulukan akal di atas naql (wahyu), atau mengadili teks wahyu dengan akal, atau klaim historisitas teks (menganggap teks hanya berlaku di masa lalu), atau merasa cukup dengan Al-Qur'an dan membuang As-Sunnah, atau mencela As-Sunnah dengan menyerang sumber-sumbernya, atau menakwilkan dalil-dalil dengan takwil yang dipaksakan, atau mendahulukan maslahat (yang diklaim) atau kaidah-kaidah (buatan) di atas dalil.

Ini dan yang semisalnya adalah seruan-seruan sesat yang aroma kemunafikan sangat dominan padanya. Allah berfirman tentang orang-orang munafik:

{وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودًا}

"Apabila dikatakan kepada mereka: 'Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul', niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu." (QS. An-Nisa: 61).

Maka celakalah bagi ucapan atau akal yang menggugat hukum Allah dan hukum Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam.

Kelima: Keinginan kuat untuk mempelajarinya dan diam menyimak saat ia dibacakan.

Sesungguhnya seorang muslim yang mengagungkan dalil adalah yang bersemangat mempelajarinya dan bergembira saat mengkajinya.

Jika ia mendengar sesuatu yang belum diketahuinya darinya, ia diliputi kebahagiaan dan kegembiraan. Kebiasaannya adalah mencari dan menelusurinya, serta tidak merasa berat mengeluarkan usaha untuk itu.

Jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhuma melakukan perjalanan dari Madinah ke Syam selama satu bulan hanya untuk mendengar satu hadits dari Abdullah bin Unais radhiyallahu 'anhu. Dan Abu Ayyub radhiyallahu 'anhu melakukan perjalanan dari Madinah ke Mesir untuk mendengar satu hadits dari Uqbah bin Amir radhiyallahu 'anhu. Perjalanan panjang dan kesulitan besar demi mendengar satu hadits.

Demikian pula orang yang mengagungkan dalil adalah orang yang seksama dalam menyimaknya dan menghadapinya dengan sepenuh hati:

{وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ}

"Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat." (QS. Al-A'raf: 204).

Hammad bin Zaid rahimahullah berkata mengenai firman Allah:

{لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ}

"Janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi" (QS. Al-Hujurat: 2).

Beliau berkata: "Aku berpendapat bahwa mengeraskan suara terhadap beliau setelah wafatnya adalah sama seperti mengeraskan suara terhadap beliau saat hidupnya." Jika hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dibacakan, wajib bagimu untuk diam menyimak sebagaimana engkau diam menyimak Al-Qur'an.

Orang yang mengagungkan dalil juga adalah orang yang jika mendengarnya, ia bersegera menyebarkannya setelah memastikan kesahihannya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِي فَوَعَاهَا ثُمَّ أَدَّاهَا إِلَى مَنْ لَمْ يَسْمَعْهَا

"Semoga Allah mencerahkan wajah seseorang yang mendengar ucapanku lalu ia memahaminya, kemudian menyampaikannya kepada orang yang belum mendengarnya."

Keenam: Di antara bentuk mengagungkan dalil Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah: Bersegera untuk mengamalkannya tanpa ragu-ragu.

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ}

"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu." (QS. Al-Anfal: 24).

{إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ}

"Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik." (QS. Al-Anbiya: 90).

{وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ}

"Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu..." (QS. Ali Imran: 133).

Sungguh para pendahulu kita yang saleh rahimahumullah adalah orang-orang yang mengagungkan dalil dan bersegera memenuhi panggilan tanpa ragu atau malas.

Ketika sampai kabar perubahan kiblat, mereka langsung memutar arah di dalam shalat. Dan ketika sampai kabar pengharaman khamr, mereka langsung menumpahkannya.

Dan ketika Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma mendengar sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:

مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ لَهُ شَيْءٌ يُوصِي فِيهِ يَبِيتُ ثَلَاثَ لَيَالٍ إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ عِنْدَهُ مَكْتُوبَةٌ

"Tidak ada hak bagi seorang muslim yang memiliki sesuatu yang ingin ia wasiatkan, untuk tidur selama dua malam kecuali wasiatnya sudah tertulis di sisinya."

Ketika mendengar ini, ia berkata: "Tidaklah berlalu satu malam pun bagiku sejak aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda demikian, kecuali wasiatku sudah ada di sisiku."

Dan dari Abu Usaid Al-Anshari radhiyallahu 'anhu, ia mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada para wanita di jalan:

اسْتَأْخِرْنَ، فَإِنَّهُ لَيْسَ لَكُنَّ أَنْ تَحْقُقْنَ الطَّرِيقَ، عَلَيْكُنَّ بِحَافَاتِ الطَّرِيقِ

"Mundurlah kalian, sesungguhnya tidak pantas bagi kalian berjalan di tengah jalan. Hendaklah kalian berjalan di pinggir jalan."

Abu Usaid berkata: "Maka para wanita itu (berjalan) menempel ke tembok hingga pakaian mereka tersangkut di tembok karena saking dekatnya menempel padanya."

Demikianlah respon mereka, tidak ada bedanya antara keadaan lapang atau sempit, sedih atau senang. Maka, seperti inilah seharusnya pengagungan terhadap dalil.

Ketujuh: Termasuk mengagungkan dalil adalah tidak menunda pengamalannya karena menunggu pemahaman tentang 'illah (sebab hukum) atau mengetahui hikmahnya, sebagaimana yang dilakukan sebagian orang hari ini.

Sesungguhnya 'illah (sebab hukum) yang dianggap (mu'tabar) dalam setiap teks —baik ilmu maupun amal, akidah maupun ibadah— adalah keberadaannya yang telah ditetapkan (tsabit) dalam Al-Kitab dan As-Sunnah.

Umar radhiyallahu 'anhu mencium Hajar Aswad dan berkata:

إِنِّي أَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ، وَلَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ

"Sesungguhnya aku tahu engkau hanyalah batu yang tidak memberi mudarat dan tidak memberi manfaat. Kalau bukan karena aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menciummu, niscaya aku tidak akan menciummu."

Para ulama berkata tentang ucapan Umar ini: Ini adalah bentuk penyerahan diri kepada Pembuat Syariat dan baiknya ketundukan dalam hal-hal yang maknanya tidak terungkap (secara logika).

Dan ketika Ibnu Umar ditanya tentang shalat di Mina, beliau menjawab: "Apakah engkau mendengar tentang Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam?" Penanya menjawab: "Ya, dan aku beriman kepadanya." Beliau berkata:

فَإِنَّهُ كَانَ يُصَلِّي بِمِنًى رَكْعَتَيْنِ

"Sesungguhnya beliau shalat di Mina dua rakaat."

pembahasan seharusnya berhenti di sini. Itu adalah perbuatan Nabi yang kita imani, maka kita tidak butuh sesuatu yang lebih dari ini untuk mengikutinya.

Kedelapan: Tidak mencari-cari alasan untuk meninggalkannya dan menjauhi sikap menentang (menggugat) dalil. Ini adalah tanda pembeda bagi mereka yang mengagungkan dalil dan berserah diri kepada wahyu.

{ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا}

"...kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (QS. An-Nisa: 65).

Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu suatu hari menyampaikan hadits tentang menyentuh Hajar Aswad, beliau berkata: "Aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyentuhnya dan menciumnya." Lalu seorang laki-laki bertanya dengan pengandaian "Bagaimana jika..." (Ara'aita), jika aku berdesak-desakan? Bagaimana jika aku kalah tenaga?" Maka Ibnu Umar berkata:

اجْعَلْ "أَرَأَيْتَ" فِي الْيَمَنِ! رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَلِمُهُ وَيُقَبِّلُهُ

"Buang kata 'Ara'aita' (bagaimana jika) itu ke Yaman! Aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyentuhnya dan menciumnya."

Suatu hari beliau menyampaikan hadits larangan memasukkan tangan ke dalam bejana (setelah bangun tidur) sampai mencucinya tiga kali. Lalu seorang laki-laki berkata kepadanya: "Bagaimana pendapatmu jika itu adalah kolam air?" Maka Ibnu Umar melemparinya dengan kerikil dan berkata:

أُخْبِرُكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقُولُ أَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ حَوْضًا!

"Aku kabarkan kepadamu dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu engkau berkata 'Bagaimana jika itu kolam'!"

Kesembilan: Termasuk mengagungkan dalil adalah membesarkan rasa marah di dalam hati jika batasannya dilanggar.

Imran bin Hushain radhiyallahu 'anhuma meriwayatkan hadits: "Malu itu seluruhnya adalah kebaikan."  Lalu seorang laki-laki berkata: "Sesungguhnya kami mendapati di sebagian kitab atau hikmah bahwa sebagian malu itu adalah ketenangan dan kewibawaan karena Allah, dan sebagian lainnya adalah kelemahan." Maka marahlah Imran dan berkata:

أَلَا أَرَى أُحَدِّثُكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتُعَارِضُ فِيهِ!

"Aku sampaikan hadits kepadamu dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu engkau menentangnya (dengan pendapat lain)!"

Dan ketika anak Ibnu Umar (Bilal bin Abdillah) bersumpah akan melarang wanita ke masjid padahal Nabi melarang hal tersebut, Ibnu Umar mencelanya dan berkata:

أُخْبِرُكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقُولُ وَاللَّهِ لَنَمْنَعُهُنَّ!

"Aku kabarkan kepadamu dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu engkau berkata: 'Demi Allah kami akan melarang mereka'!"

Dan Abdullah bin Mughaffal radhiyallahu 'anhu melihat seorang laki-laki melempar kerikil (melastik/khazaf) padahal Nabi melarangnya. Maka ia berkata:

أُخْبِرُكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ يَكْرَهُ أَوْ يَنْهَى عَنِ الْخَذْفِ ثُمَّ أَرَاكَ تَخْذِفُ! لَا أُكَلِّمُكَ كَذَا وَكَذَا

"Aku kabarkan kepadamu dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau membenci atau melarang khazaf, kemudian aku melihatmu masih melakukannya! Aku tidak akan berbicara denganmu tentang ini dan itu."

Kesepuluh dan terakhir: Termasuk mengagungkan dalil adalah mencukupkan diri dengannya dan tidak menambah-nambah atasnya (Bid'ah).

إِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَشَرَّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا

"Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, dan seburuk-buruk perkara adalah hal-hal yang diada-adakan (dalam agama)."

{اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ}

"Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)." (QS. Al-A'raf: 3).

Penutup

اللَّهُمَّ ارْزُقْنَا تَعْظِيمَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَاجْعَلْنَا مِنْ أَهْلِهِمَا، اللَّهُمَّ ارْزُقْنَا حُبَّكَ وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ وَحُبَّ عَمَلٍ يُقَرِّبُنَا إِلَى حُبِّكَ

Ya Allah, karuniakanlah kami pengagungan terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah dan jadikanlah kami termasuk ahlinya. Ya Allah, karuniakanlah kami cinta kepada-Mu, dan cinta kepada orang yang mencintai-Mu, dan cinta kepada amal yang mendekatkan kami kepada cinta-Mu.


Post a Comment

0 Comments