SERINAI RINDU FEBRUARI




Rintik hujan januari belum lagi reda,diluar tenda masih bersisa suara gemuruh dan guruh...tenda kami basah..sleping bed kering yang hanya tersisa satu,menjadi alas hangat kami malam itu..tapi kehangatan itu tak berlangsung lama..rembesan air dari hujan yg tengah berlangsung menjadikan semua yang ada di dalam tenda basah tak karuan..kami menggigil berjamaah...saling merapatkan badan yang sudah sedikit memucat karena dingin...kami tak tahu berapa derajat dingin malam itu..selain kalimat penyesalan yang kami dengar...ada pula nafas panjang Teman teman yang mata mereka tak hendak menutup walau sekejap. Malam itu tak ada riuh rendah tawa kami...tak ada duduk manis menikmati zabarghan bersama tsuroyya di benderangnya malam...yang ada hanya kilatan petir,kelam malam dan rindu untuk pulang.

Kala itu kami semua tak tau apa jadinya kami di esok hari,setelah panjang malam bertabur sedih dan kata putus asa untuk terus mendaki.


aku kira keadaan kami kala itu menjadi satu praktik nyata penggalan ayat di dalam Alquran...bunyinya :


وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا

dan tak ada satu jiwa pun yang mengetahui apa yang akan menimpanya esok hari.

dan benar lah,saat pagi tiba ada banyak kejutan di balik dedaun basah dari rintik hujan januari,ada segerombol embun bermain dengan dinginnya leher marapi.


Pagi itu kami bangun dengan kantuk yang belum lagi terpuaskan,bagaimana tidak ? mata saja tak hendak berdamai dengan mulut...mata sayup menutup,mulut mengaduh tentang hidup.begitulah.


Ada satu perkara yg menjadi penyesalan kami ketika itu,akibat pagi yang tak menyapa kami,juga karena malam yg tak berucap sampai jumpa pada kami...saat kami keluar tenda,memang rintik hujan januari sudah tak lagi ada...namun mentari sudah terlalu tinggi untuk kami nikmati bersama kopi.


Setelah bercengkrama ria dengan tawa yg lepas dari derita...kami sepakat untuk meneruskan tekad..melihat sumatera barat dari balik awan yg tinggi...tak ada lagi keluh kami pagi itu..tak ada lagi sesal kami pagi itu...yang ada hanya hamasah kuat untuk terus menanjak...jalan terjal berbatu agak membuat kami lamban...kami diperintah oleh alam untuk memilih..antara mengikuti jalur yang sudah ada,atau menyusun bebatuan untuk menjadi jalan ternyaman..


Kita manusia sering kali dihadapkan dengan dua pilihan yang sama sama menununtut kecerdasan berpikir,dua pilihan yang secara dzohiriyah baik dan nyaman,namun begitulah...seorang yang cerdas merupakan orang yang bisa memprioritaskan setiap pilihannya...sama seperti seorang mujtahid dalam satu permasalahan agama...mujtahid sejati bukan hanya mereka yang dapat memberi fatwa dengan jawaban yang benar...tapi seorang munjtahid yang rabbani adalah mereka yang dapat memilih yang terbaik dari dua perkara baik..atau secara istilah sekarang..'sekala prioritas'.


Sama seperti marapi kala itu yang menuntut kami memilih,dengan hasil pilihan kami pada jalan yang sudah ada agar nyaman itu tidak lagi harus dicari, melainkan ia sudah ada dengan seribu cerita tapak kaki yang pernah berjuang bersama peluh dan asa menuju puncak marapi.


Kami masih terus mendaki,memilih satu dua bebatuan yang layak untuk menjadi pegangan...satu kaki berpijak satu lagi mencari kemana hendak di tapakkan sendi ini.Tangan pun kala itu tak lelah meraba,kiranya ada satu dua batu yang rapuh yang tak pantas dijadikan pijakan..mulutpun tak bisu berteriak "batuu !!! batuuu !!" untuk memberi peringatan rekan dibawah.

huuuft..mungkin sulit sekali keaadan pagi itu untuk aku tuliskan di sini dengan kata kata,aku takat salah diksi,lalu menghilangkan segala sensi.

Dan,malam ini...aku sedang duduk nyaman dibawah rembulan yang tertutup genteng rumah ini...membuka sedikit album foto yang dahulu sempat kami abadikan di atas marapi...hingga aku tertawa pada kostum yang kami pakai pagi itu...diantara kami ada yang hanya bersandalkan 'swallow ghosob' ,berbajukan singlet,bercelana pendek....bahkan sarung.maka tak ada yang berhak bagi kami pagi itu melainkan dingin yang yang bersangatan.

lihat pakaian kami itu, haha





"waktu kita disini cuma sejam lebih sedikit,pukul sepuluh kurang..kita semua sudah harus bergerak turun,sebelum asap dari kawah itu semakin padat,sebelum aroma belerang itu semakin tajam." rekan kami sang amir safar memperingatkan kami kala itu...mencoba menyadarkan kami,bahwa ada yang lebih penting dari sekedar sampai di puncak marapi.


memang begitu jadinya,euforia sampai ke puncak memang terlalu membuai..hingga kami lupa sudah banyak kalimat sial dan sesal yang sudah kami ucap malam sebelumnya.kami lupa...siang kemaren kami tertatah menuju post 3. Dan kami juga lupa...ada rindu yang harus disegerakan bertemu.


bagaimana tidak ? danau maninjau nan elok di bawah sana benar benar terlihat dari atas marapi,gunung singgalang yang kokoh berdiri di seberang sana juga tampak menggoda untuk kami tanjaki...seakan ia berkata "hei ! kalian yang kini di atas marapi..tak hendak kah kalian melihat danau indah di puncakku..atau,tak hendakkah kalian bermain di sabana luas milikku ?"...hahaha, tatapan singgalang penuh arti memang entah ia menantang atau ia malah menghinakan ? sekaan ia tahu...untuk sampai di sini,puncak marapi saja kami masih tertatih.


Danau singkarak dari ketinggian


Jika aku disuruh untuk bercerita tentang pagi itu,tentang rintik hujan januari yang sudah reda,tentang senang mentari mengantar kami ke puncak marapi...niscaya aku enggan,terlalu banyak air mata tawa yang harus menjadi tinta untuk setiap kata. Kami turun dari marapi kala itu dengan wajah sumringah...memang ada lelah...memang ada susah...tapi rekan rekan kami yang sama sama mendaki kala itu,menjadikan setiap langkah turun kami berbuah kata kata manis..:


"Tujuan rindu kau sudah ada,tak perlu kau berderai kecewa lalu bergembira dengan kesemuan yang bahkan ujungnya adalah luka"


lalu kami turun...menapak dataran biasa dengan satu kaset cerita, dalam satuan sudut pandang yang berbeda..gelak tawa kami mungkin tak lagi bersisa di atas sana...tapi kami masih bisa melihat hujan...derai rintik januari selalu saja mengembalikan cerita tentang marapi...dan selalu saja mengahabiskan MB-an kuota untuk bernostalgia.


Langit diluar cukup cerah,walau rinai hujan senja tadi masih berderai diantara genteng..aku kira deras hujan januari sudahlah reda,toh kini sudah di penghujung februari..tak layak lagi cerita ini sebenarnya aku juduli 'hujan januari'..dan begitulah 'SERINAI* RINDU FEBRUARI' melengkapi cerita waktu itu.

________________
di tulis dan disempurnakan dalam tempo semalas malasnya
di Djakarta. menuju hujung februari.


nb.rinai1/ri·nai/ Mk n gerimis; rintik-rintik; tetes-tetes (tentang hujan);

Post a Comment

1 Comments