MENGAKUI KESALAHAN ADALAH JALAN MENUJU KEBENARAN


Para salaf, atau pendahulu dalam Islam, terkenal dengan keteladanan dan kejujuran mereka dalam menjalani ajaran agama. Bagi mereka, kesadaran akan kesalahan adalah langkah penting dalam perjalanan spiritual. Kesadaran ini tidak hanya berhenti pada pengenalan kesalahan, tetapi juga pada pengakuan terhadap kesalahan tersebut.

Pentingnya kesadaran akan kesalahan tercermin dalam banyak kisah dan ajaran dari para salaf. Mereka tidak pernah malu untuk mengakui kesalahan mereka di hadapan Allah dan manusia.

Kesadaran akan kesalahan membawa konsekuensi positif dalam kehidupan seorang muslim. Pertama, itu menciptakan sikap rendah hati dan kerendahan diri. Dengan menyadari bahwa mereka tidak sempurna, para salaf tetap rendah hati di hadapan Allah dan bersedia untuk belajar dan memperbaiki diri mereka sendiri.

Kedua, kesadaran akan kesalahan juga membuka jalan untuk pertobatan dan pembaruan. Para salaf menganggap kesalahan sebagai kesempatan untuk memperbaiki hubungan mereka dengan Allah dan memperbaiki perilaku mereka. Mereka tidak takut untuk mengakui kesalahan mereka dan berusaha untuk memperbaikinya dengan tekad yang kuat.

Selain itu, kesadaran akan kesalahan juga mengajarkan pentingnya kesetiaan terhadap kebenaran. Para salaf percaya bahwa mengakui kesalahan adalah langkah pertama menuju kebenaran yang lebih tinggi. Dengan demikian, mereka selalu mencari pengetahuan dan kebenaran baru, tanpa takut untuk mengoreksi keyakinan atau praktek mereka jika diperlukan.

Para Salaf Saleh -semoga Allah merahmati mereka- telah memberikan contoh terbaik dalam menerima kebenaran dari siapapun, kembali kepadanya, dan tidak merasa terhina olehnya, karena mereka mengetahui bahwa menolak mengakui kebenaran adalah bentuk kesombongan yang jelas, sebagaimana yang telah disampaikan oleh Nabi -shallalahu alaihi wasallam -:

الكِبْر بَطَرُ الحقِّ، وغَمْطُ الناسِ

 "Kesombongan adalah menolak kebenaran dan menghina manusia." 

Seorang yang sombong menolak kebenaran, menjauhinya, dan tidak menerima, karena dia yakin dengan pendapatnya, teguh dengan tindakannya, namun menghina manusia dan merendahkan mereka, karena dia menganggap dirinya lebih tinggi dari mereka.

Seorang bijak pernah ditanya, "Apa itu kerendahan hati?" Dia menjawab, 

ألا تقابل أحداً إلا رأيت له الفضل عليك، بكلمةٍ قالها لك، أو معروفٍ أسداه إليك، أو ابتسامةٍ قابلك بها".

"Tidak bertemu dengan seseorang kecuali Anda melihat kelebihannya darimu, entah itu dengan kata-kata yang dia katakan padamu, atau kebaikan yang dia tunjukkan padamu, atau senyuman yang dia sapa padamu."

علامةُ شكرِ المرء إعلانُ حمده *** فمن كتم المعروف منهم فما شكر 

Tanda syukur seseorang adalah dengan mempublikasikan pujian atasnya, siapa pun yang menyembunyikan kebaikan dari mereka tidaklah bersyukur.

Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bersabda: 

مَنْ لَمْ يَشْكُرِ النَّاسَ، لَمْ يَشْكُرِ اللهَ -عَزَّ وَجَلَّ-". [رواه الإمام أحمد وصححه الألباني] 

"Barangsiapa tidak bersyukur kepada manusia, maka dia tidak bersyukur kepada Allah." (HR. Imam Ahmad, dishahihkan oleh Al-Albani). 

Ibnu Qayyim -semoga Allah merahmatinya- berkata: 

من علامات الخشوع: أَنَّ الْعَبْدَ إِذَا خُولِفَ وَرُدَّ عَلَيْهِ بِالْحَقِّ: اسْتَقْبَلَ ذَلِكَ بِالْقَبُولِ وَالِانْقِيَادِ". 

"Salah satu tanda kerendahan hati adalah bahwa seorang hamba, ketika dia dikritik dan diingatkan akan kebenaran, dia menerimanya dengan penerimaan dan ketaatan."

 Dia juga berkata, 

 "لَا تَصِحُّ لَكَ دَرَجَةُ التَّوَاضُعِ, حَتَّى تَقْبَلَ الْحَقَّ مِمَّنْ تُحِبُّ, وَمِمَّنْ تُبْغِضُ, فَتَقْبَلُهُ مِنْ عَدُوِّكَ, كَمَا تَقْبَلُهُ مِنْ وَلِيِّكَ

"Anda tidak bisa mencapai derajat kerendahan hati sampai Anda menerima kebenaran dari mereka yang Anda cintai dan mereka yang Anda benci, dan Anda menerimanya dari musuh Anda seperti Anda menerimanya dari teman Anda." 

Maka, kebenaran dapat diterima dari siapa pun karena kepatuhannya terhadap dalil, tidak perlu melihat siapa pembicaranya dalam penerimaannya atau penolakannya. Oleh karena itu, Ahlussunnah menerima kebenaran dari semua kelompok, dan menolak kebatilan dari mereka, tanpa memperhatikan apakah mereka mendukungnya atau menentangnya. 

Ibnu Qayyim -semoga Allah merahmatinya- berkata: 

فمن هداه الله -سبحانه- إلى الأخذ بالحق حيث كان, ومع مَن كان، ولو كان مع من يُبغضه ويعاديه، وردَّ الباطل مع من كان, ولو كان مع من يحبه ويواليه، فهو ممن هدى اللهُ لما اختُلف فيه من الحق

"Barangsiapa yang Allah beri petunjuk untuk mengambil kebenaran di mana pun itu berada, dengan siapa pun itu bersama, bahkan jika bersama mereka yang dia benci dan memusuhi, dan menolak kebatilan di mana pun itu berada, dengan siapa pun itu bersama, bahkan jika bersama mereka yang dia cintai dan mendukungnya, maka dia termasuk orang yang Allah beri petunjuk di mana perbedaan pendapat tentang kebenaran ada di antara mereka." Ini adalah perkataannya. 

Muadz bin Jabal -semoga Allah meridhainya- berkata: 

اقبلوا الحق من كلِّ مَن جاء به، وإن كان كافراً أو فاجراً".

"Terimalah kebenaran dari siapa pun yang membawanya, meskipun dia kafir atau fasik."

Berikut ini beberapa contoh yang indah dalam menerima kebenaran, dan kembali kepadanya, tanpa kesombongan dan angkuh:

Ibnu Katsir -semoga Allah merahmatinya- berkata: "Abdullah bin Hasan al-'Ambari -semoga Allah merahmatinya- ditanya saat itu menjadi qadhi Basrah, dan dia memiliki kedudukan yang tinggi di mata orang-orang. Dia ditanya tentang suatu masalah, namun dia salah dalam jawabannya. Seorang anak kecil di antara orang banyak berkata kepadanya: 'Wahai qadhi, Anda salah. Hukumnya seharusnya begini dan begitu.' Dia kemudian menundukkan kepalanya sedikit dan berkata: 'Anak ini benar, lebih baik bagiku menjadi orang yang mengikut dalam kebenaran daripada menjadi kepala dalam kesalahan.' 

Dia tidak memandang remeh kata-kata kebenaran dari seorang anak kecil, yang diucapkan di hadapan orang banyak dan di hadapan orang yang dia cintai. Inilah kejujuran dan ketulusan.

Dan Imam al-Baqai -semoga Allah merahmatinya- berkata dalam kitabnya "Maqasid al-Nadhar": "Aku tidak meninggalkan siapapun yang mengkritikku tanpa berkata padanya: 'Barangsiapa yang menemukan kesalahanku, beritahukan padaku agar aku bisa memperbaikinya.' Demi Allah yang kekuasaan-Nya telah agung dan kebesaran-Nya telah tinggi, jika aku memiliki kecukupan untuk melakukan apa yang aku inginkan, aku akan memberikan uang kepada siapa pun yang mengingatkanku pada kesalahan. Setiap kali seseorang mengingatkanku akan suatu kesalahan, aku memberikannya satu dinar. Dan sesungguhnya lebih dari satu orang telah mengingatkanku pada beberapa hal dan aku telah memperbaikinya, dan aku selalu berdoa untuk mereka dan memuji mereka."

Ibnul Arabi -semoga Allah merahmatinya- berkata: "Muhammad bin Qasim al-'Utsmani mengabarkan kepada saya, dia berkata: 'Saya pergi ke majlis Syaikh Abu al-Fadhl al-Jauhari -dan al-Jauhari adalah salah satu imam bahasa Arab- dia berkata: 'Saya hadir saat dia berbicara kepada orang-orang, dan dalam salah satu majlis pertama saya duduk bersamanya, dia berkata: 'Sesungguhnya Nabi -semoga shalat dan salam tercurah atasnya- pernah mentalaq istrinya dan juga pernah melakukan Dzihar dan ilaa (menangguhkan istri istrinya).

Maka ketika dia keluar, saya mengikutinya dan mengatakan kepadanya: 'Saya mendengar Anda mengatakan: Rasulullah pernah menangguhkan istri istrinya, dan anada benar. Rasulullah pernah mentalaq istrinyam dan itu benar. Kemudian anda juga mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah berbuat zihar kepada istrinya,  dan itu tidak benar dan tidak mungkin benar; karena Dzihar itu adalah sebuah perbuatan munkar dan perkataan dusta.  dan itu tidak boleh terjadi pada Nabi -semoga shalat dan salam tercurah atasnya.'

Lalu dia menarik saya ke arahnya dan mencium kepalaku dan berkata: 'Aku bertaubat dari itu. Semoga Allah membalas kamu atas pembelajaran yang baik dariku.' Lalu saya pergi.  

Pada hari kedua, saya kembali mendatangi majlis beliau. Beliau telah mendahuluiku pergi ke masjid, kemudian beliau duduk di mimbar. Ketika aku masuk dari pintu masjid dan dia melihatku, dia berseru dengan suara keras: 'Selamat datang, guru saya, berilah ruang bagi guru saya.' Maka semua kepala mengarah padaku dan semua mata menatapku sampai aku mencapai mimbar, dan karena malu yang hebat, saya tidak tahu di mana saya berada di dunia ini, dan masjid dipenuhi dengan orang-orangnya, dan rasa malu membuat tubuhku berkeringat, dan Syaikh berbalik kepada orang-orang dan berkata kepada mereka: 'Aku adalah gurumu, dan inilah guruku.'

Beliau berkata : Aku berkata kepada kalian kemarin: Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah melakukan Thalaq, dzihar dan ilaa. Tidak ada satupun dari kalian yang memahami masalah ini.  Seusai majlis orang ini datang kepada saya dan mengatakan kepadaku begini dan begitu, dan dia mengulangi apa yang terjadi antara saya dan dia, dan aku bertaubat dari perkataanku kemarin, dan kembali kepada kebenaran.' Maka siapa pun yang mendengarnya dari mereka yang hadir tidak boleh mengandalkan atasnya, dan siapa pun yang absen harus memberi tahu dia yang hadir, dan semoga Allah memberinya kebaikan, dan dia melanjutkan berdoa, dan orang-orang mengamini."

Ibnul Arabi -semoga Allah merahmatinya- mengomentari kisah tersebut dengan mengatakan: "Lihatlah kepada keindahaan agama ini, serta pengakuan ilmu bagi pemiliknya di hadapan orang banyak, dari seorang yang imam besar yang sudah terkenal, kepada seseorang yang asing dan tidak dikenal, tidak diketahui dari mana asalnya. Maka ikutilah jejak yang demikian agar dekat pada kebenaran.

Disebutkan pula bahwa Al-Hafizh Abdul Ghani -semoga Allah merahmatinya-  menulis sebuah buku tentang  beberapa kesalahan Al-Hakim Abu Abdullah, pemilik al-Mustadrak 'ala al-Sahihain. Ketika al-Hakim -semoga Allah merahmatinya- mengetahuinya, dia membacanya dihadapan orang-orang, kemudian beliau mengakui kelebihan Abdul Ghani, mengucapkan terima kasih kepadanya, dan merujuk kembali pada kritik yang dia terima darinya, semoga Allah merahmati keduanya.

lihatlah dan renungkanlah -wahai kaum Muslimin- kepada kejujuran dan kesucian hati Salafus Salih kita, mereka bersuka cita ketika diberitahu tentang kesalahan dan kekurangan mereka, dan beberapa di antara mereka bahkan berharap bahwa jika mereka kaya, mereka akan memberi imbalan kepada orang yang menunjukkan kesalahan mereka. Bandingkanlah ini dengan keadaan banyak dari kita, di mana mereka merasa terganggu ketika diberi tahu tentang kesalahan mereka, dan mengkritik bahwa mereka tidak pantas untuk dikritik. Salafus Salih -semoga Allah merahmati mereka- mengumumkan di mimbar-mimbar mereka bahwa mereka telah melakukan kesalahan, dan bahwa seseorang dari manusia telah menunjukkan hal itu kepada mereka, dan mereka mengucapkan terima kasih dan memuji dia di hadapan orang banyak.

Semoga allah merahmati para ulama dan para imam.

Semoga allah memberikan kita rasa tunduk dihadapan kebenaran.

Wallahu a'alam.

-----------

Oleh : Huzaifah Ali Akbar

Post a Comment

0 Comments