الحمد لله رب العالمين، وصلى الله وسلم وبارك على عبده ورسوله نبينا محمد، وعلى آله وصحبه أجمعين، أما بعد:
Sesungguhnya tauhid adalah agama hanifiyah (agama lurus), dan ibadah haji adalah syiar para pengikut agama yang hanif. Allah Ta‘ala berfirman:
{حُنَفَاءَ لِلَّهِ غَيْرَ مُشْرِكِينَ بِهِ}
"Dengan ikhlas kepada Allah, tidak mempersekutukan-Nya" [QS. Al-Hajj: 31].
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “(Yakni) berhaji karena Allah dan tidak mempersekutukan-Nya.”
Qatadah rahimahullah berkata: “(Yakni) berhaji karena Allah dalam keadaan muslim yang mentauhidkan-Nya.”
Maka, tauhid dan ibadah haji adalah dua perkara yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan; laksana fondasi dan bangunan, atau seperti batang dan buah.
Barang siapa yang merenungi manasik (ritual-ritual) haji, niscaya ia akan melihat bahwa semuanya bermuara pada tauhid dan dipenuhi dengan nilai-nilai tauhid.
Syiar utama ibadah haji adalah talbiyah, yang merupakan seruan tauhid.
Ucapan kalimat tauhid adalah perkataan terbaik dalam rukun haji yang paling agung.
Di dalamnya juga terkandung pengesaan terhadap Allah dalam setiap doa di tempat-tempat suci: Arafah, Muzdalifah, saat melempar jumrah, dan di bukit Shafa dan Marwah.
Di dalamnya juga terdapat pengikhlasan kepada Rabb taala, pada tiap thawaf, salat, kurban, hingga mencukur rambut, semuanya semata-mata untuk Tuhan Yang Maha Esa, Allah subhanahu wata'ala.
Juga terkandung di dalamnya sikap tunduk dan merendah, cinta dan harap, tawakal dan ketundukan kepada Allah Rabb semesta alam.
Dengan demikian, jikalau =[ tauhid adalah tujuan utama ibadah haji, inti dan ruhnya, sungguh sangat layak bila musim haji dijadikan sebagai momentum untuk berdakwah kepada tauhid, ladang untuk menyebarkannya, dan medan untuk mengajarkannya.
Hal ini, alhamdulillah, telah dijalankan oleh para pendukung tauhid —baik lembaga maupun perorangan. Usaha-usaha yang dilakukan sangat baik dan penuh berkah, insya Allah. Dan tulisan ini tidak lain hanyalah sebuah pengingat, penegasan, sekaligus ajakan untuk terus meningkatkan usaha tersebut.
Sesungguhnya para tamu Allah (para jemaah haji) telah datang ke tanah suci ini dari berbagai penjuru dunia yang jauh, dengan hati yang penuh kebaikan dan keinginan kuat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan mereka, Subhanahu wa Ta‘ala. Betapa agungnya nikmat ini—yang hanya benar-benar disadari oleh para dai yang tulus.
Jika para dai biasanya bepergian jauh ke berbagai belahan bumi demi menyampaikan dakwah kepada manusia, maka kali ini justru merekalah (para jemaah) yang datang dari berbagai penjuru dan menetap di hadapan para dai. Demi Allah, ini benar-benar "ghanimah baridah"—harta rampasan yang mudah diraih!
Apabila negara—semoga Allah memberkahinya—telah banyak berkorban dan berupaya demi melayani para jemaah, maka seharusnya semua itu ditutup dengan hadiah paling berharga yang bisa diberikan kepada mereka: yaitu dakwah kepada tauhid yang murni, serta upaya membersihkan keyakinan mereka dari segala noda dan kekeliruan. Sebab jika mereka kembali ke negeri masing-masing dengan membawa tauhid, maka sungguh mereka telah meraih tujuan paling agung, meskipun mungkin ada hal-hal lain yang terlewatkan.
Tidak dapat disangkal bahwa mereka datang dari masyarakat yang umumnya tidak lepas dari berbagai persoalan ekonomi, sosial, atau politik. Namun sesungguhnya masalah terbesar yang ada di banyak tempat melampaui semua itu: yaitu kerusakan dalam hal akidah. Siapa pun yang memahami kondisi negeri-negeri Muslim tentu tahu bahwa praktek-praktek syirik, takhayul, dan kebodohan telah berakar kuat di dalamnya—kecuali yang dirahmati Allah.
Di sinilah peran penting para dai yang diberi taufik oleh Allah: untuk menampilkan wajah Islam yang murni dan cerah sebelum hawa nafsu menyebar, serta untuk menyingkap wajah buruk dari khurafat dan penipuan atas nama agama.
Mereka harus berseru dengan lantang kepada para jemaah: bahwa ibadah adalah hak eksklusif milik Tuhan Yang Mahatinggi, dan bahwa dosa terbesar di muka bumi ini adalah menyembah selain-Nya, Mahasuci Dia. Mereka harus meyakinkan para jemaah bahwa agama Allah terlalu agung untuk dicampur dengan bid'ah, dan terlalu indah untuk dinodai oleh berbagai hal yang diada-adakan.
Ini adalah perkara yang tidak bisa ditawar: yaitu bersungguh-sungguh dalam melakukan penyadaran, dan poros utamanya adalah tauhid.
Kewajiban ini menjadi semakin mendesak, karena diketahui bahwa banyak di antara jemaah yang sangat haus akan ilmu tentang tauhid dan sunnah. Aku sendiri—dan banyak orang lain—telah menyaksikan banyak jemaah haji yang dengan semangat bertanya kepada para dai tentang buku-buku tauhid, dan merasa kecewa jika tidak mendapatkan apa yang mereka cari.
Aku tidak akan pernah melupakan seorang jemaah yang meminta kepadaku buku tentang manasik haji. Lalu aku berkata: “Yang aku miliki hanya buku tentang tauhid.” Ia pun menjawab: “Berikan saja! Haji tanpa tauhid—apa manfaatnya?” Dan ia benar!
Perlu pula diingat bahwa menunaikan amanah dakwah ini tidak cukup hanya dengan satu khutbah, sepatah kata, atau satu pelajaran di antara sekian banyak majelis. Sebaliknya, hal itu harus menjadi pekerjaan utama dan kesibukan terus-menerus bagi seorang dai.
Orang yang diberi taufik adalah dia yang mampu menyampaikan dakwah tauhid dengan cara yang tepat, kata-kata yang menyentuh, dan media yang menarik.
Dialah yang cakap dalam menggali pelajaran dan keindahan-keindahan tauhid, sekalipun pembahasan utama adalah kisah dalam Al-Qur’an, sepotong bagian dari sirah (sejarah Nabi), atau hadits tentang zikir.
Dan sungguh berbahagialah, sebab manfaat dari dakwah ini tidak hanya dirasakan oleh sang jemaah itu sendiri, tetapi juga oleh keluarganya—yang akan ia datangi kembali dengan membawa kebaikan yang Allah karuniakan kepadanya karena satu kalimat yang ia dengar dari sang dai, atau karena sebuah buku kecil yang diberikan kepadanya.
Berapa banyak kita mendengar kisah orang-orang di pelosok desa yang mendapatkan hidayah kepada tauhid dan sunnah, berkat sebuah buku yang dibawa oleh seorang jemaah haji ke tempat mereka!
Perlu juga diberi catatan penting, bahwa dakwah kepada tauhid tidak akan memberi dampak yang diharapkan jika hanya dilakukan secara global dan umum.
Dakwah itu haruslah terperinci—menjelaskan satu per satu jenis tauhid, menampakkan pokok-pokok pembahasannya, serta menjelaskan pembatal dan perusaknya.
Begitu pula, dakwah ini tidak akan sampai pada tujuan yang diharapkan—kecuali dengan izin Allah—jika tidak disampaikan dengan penuh kejelasan: memberikan hak setiap perkara, mengagungkan apa yang diagungkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta menempatkan petunjuk dan kesesatan pada tempatnya dengan tegas dan tepat, tanpa ragu atau basa-basi.
Inilah yang benar-benar bermanfaat bagi para pendengar dan memberi pengaruh dalam hati mereka.
Semua ini tentunya harus disertai dengan hikmah, dan dijalankan dengan mempertimbangkan kemaslahatan.
Betapa indahnya sebuah dakwah yang lantang menyuarakan kebenaran, namun berhias kelembutan dan kebijaksanaan.
Agar dakwah ini benar-benar membuahkan hasil, maka gaya penyampaiannya haruslah ringan dan tidak dibuat-buat, bahasanya harus mudah dipahami dan tidak rumit, serta cara penyampaiannya harus menyenangkan, tidak membuat orang menjauh.
Sebagai penutup, perlu diingatkan bahwa tauhid—wahai para pengusung tauhid—adalah nikmat besar, dan menyeru kepadanya adalah bentuk syukur atas nikmat tersebut.
Tuhan kita Subhanahu wa Ta‘ala berfirman: "Dan terhadap nikmat Tuhanmu, hendaklah engkau menyampaikan" [QS. Adh-Dhuha: 11]. Al-Qurthubi berkata: “Menurut Mujahid, yang dimaksud adalah kenabian. Yakni, sampaikanlah apa yang telah diutuskan kepadamu. Seruan ini ditujukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun hukumnya umum untuk beliau dan selain beliau.” (5)
Sementara tauhid adalah hal paling agung yang dibawa oleh para rasul, bahkan tidak ada satu pun risalah para nabi, ataupun kitab dari Tuhan semesta alam, yang lebih agung darinya.
Maka siapa yang ingin menjadi hamba yang bersyukur atas nikmat ini dan menunaikan haknya, hendaknya ia menjadikan dakwah kepada tauhid sebagai inti waktunya dan pusat perhatiannya.
Ia harus menjadi pribadi yang penuh semangat, serius, dan memiliki kepedulian terhadap hidayah umat manusia.
Allah Subhanahu wa Ta‘ala telah memberikan janji yang benar:
"Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami, niscaya Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar bersama orang-orang yang berbuat baik."
[QS. Al-‘Ankabut: 69]
Aku memohon kepada Allah agar memberikan taufik, keteguhan, dan kekuatan kepada para dai dan pendukung tauhid, memperbaiki keadaan mereka, serta memberkahi segala usaha mereka.
Shalawat dan salam semoga tercurah kepada penghulu anak Adam, Nabi Muhammad, serta kepada keluarga dan seluruh sahabat beliau.
0 Comments