TANGISAN DI UJUNG RAMADAN


 Ada tangis di ujung senja.

Hamba Allah itu, menepi diantara riuh rendah ucapan selamat lebaran.

Setelah hari hari sebelumnya, ia hidupkan dengan sholat, tilawah, serta banyak kebaikan.

Yang ia harap kini cuma satu; kiranya Allah menerima seluruh amalan tersebut.

Kakinya yang gemetar menahan panjangnya bacaan di malam, semoga tak Allah sia siakan.

Perutnya yang keroncongan, semoga Allah balas dengan surga Ar Royyan.

Dan, tangis tersebut malah semakin deras.

Ketika sang Hamba Allah tersebut, mengingat akan janji perpisahan dengan kekasihnya. Perjanjian dalam sebuah kata pisah, tanpa mengucap akad untuk kembali bersua. Mungkin kasihnya tetap akan datang, namun dirinya, entah sudah tak lagi berkandung badan atau menjauh dari kebenaran.

Maka, tak ada yang dia harap di tengah sumringah orang orang, melainkan doa tulus;

تقبل الله منا ومنكم.

 Semoga Allah menerima amalmu dan kami.

Doa yang diharap tidak kering.
Doa yang harusnya membuat setiap pengucapnya bergetar, hatinya berlirih, mengucap amin di hati yang paling dalam.

Ya Allah, terimalah, terimalah.

Kemudian, sedu sedannya semakin jelas terdengar.
Mukanya ia tutup, laksana para sahabat saat tenggelam dalam tangisnya.

Ia terus begitu. Terus saja.

Sampai di satu titik.

Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar
Laa ilaaha illallah Allahu Akbar
Allahu Akbar wa lillahil hamd.

Semakin membuncah.
Tergabung ria dan sendu dalam satu waktu.
Terdapat senyum dan tangis di hari itu.

Hari kemenangan.
Untuk mereka yang menang.

Selamat. Selamat.
Semoga Allah Terima.

Post a Comment

0 Comments