MENYELEMBANA DI MAGISNYA PETANG.

We have a Magic Hour، dude.

Ini sudah senja yang keberapa, kawan?

Begitu usang kutanggung sebuah penantian.

Diam di sela angin yang bungkam.

Alam mematung menadah hujan.

Duka ini belum lagi sembuh kawan.

Terlalu dalam dosa mengggores di hati kelam.

Membisu menatap hari semakin temaram.
Jingga bergeser memeluk malam.

Aku hanya bisa menuliskan beberapa aksara.

Menggumpal dalam kalimat menyapa.

Tentang rindu, cinta, dan airmata.

🌅🌅🌅🌅

Izinkan aku menjawab, tuan.

Menjawab aksara lara yang kau kata.
Menepis segala duga yang kau nyana.

Tuan.
Kita terlalu sering menatap senja yang sama.

Menerka setiap jingga yang hadir, mengeja setiap tembaga yang lahir.

Kita berserah, namun bukan pada Ilaaah.
Kita berserah pada kilauan mentari yang merekah. 

Kita menangis, bukan pada jiwa yang kritis.
Kita menangis mengulang kenangan di bawah rembulan yang magis.

Aduhai, patutlah kita sering lalai.

Pantaslah magic hour itu kian terabai.

Tiap pekan ia menyapa.
Tiap itu pula kita menyepi.
Pergi tanpa arti, menghilang tanpa saksi.

Tuan, 
Jika tuan ingin sepiring nampan malam ini, mintalah.

Jika tuan ingin luka tuan pulih, lelah lah petang ini dalam sedih.

Jika tuan tak kuat menahan dosa, tumpahkan dalam wajan doa.

Kita masih punya Tuhan untuk beraksara.

Kita masih punya senja tempat tuan dapat melirih duka.

Merintih, tertatih. 

Menyulam asa di ujung petang yang luar biasa.

Jadi, tuan.

We have a magic hour untuk meluruhkan pinta.

Jangan lagi berduka, hentikan aksara lara. Kita punya doa.

23 Rabiul awwal, 29 Oktober.
Selesai menjawab tanya seorang sahabat.

Via https://t.me/tulisanfakir

Post a Comment

0 Comments