MUARA LELAHMU

... 
Kau lelah? aku tahu.
Bertubi peluh merapal pelipismu. 
Membaca setiap senti kerut wajahmu. 

Kau lelah? Aku tahu.
Gurat sendu sudah terlukis
Mata Sebam sudah menangis
Tapak sendal kian menipis

Kau lelah? Aku tahu.
Lalu bagaimana tentang....
Salaf yang bermain dengan zaman.
Yang Berandai membeli waktu dengan kepingan logam.  

Juga Tentang ulama yang bersandalkan pasir berpayungkan terik.
Pakaian musim panas mereka adalah majlis ketenangan. Selimut musim dinginnya adalah tanya sapa senyum merapah. 

Bagaimana pula tentang mereka yang bersantap tangis, mencicip asinnya kerongkongan yang kering, menikmati gulatan perut yang kosong.

Apa lelahmu sudah setahap lebih dahsyat dari mereka? Sedang siang mereka laksana jawara, malam mereka laksana pendeta.

Menahan lapar dengan goresan pena. 
Menahan kantuk dengan munajat cinta. 

Beranjak dari santap nikmat, demi bait bait kalam kekasih yang mesti dicatat. 
Meninggalkan buah hati, berperang dengan tegar melawan rindu yang mengakar. 

Tak pernahkah kau dengar Kredo "jika kau serahkan sepenuh jiwamu, ia bahkan tak memberimu setengahnya. Bagaimana pula kau hendak tebus ia dengan rebahan dan menjadi bangkai semalaman??" 

Muktamad memang setiap nyana yang tersadur dari jiwa yang tersadar. Menyana akan kurangnya juang, Musabab bangkit dari tidur berkepanjangan. Menyana lelah yang kian meradang, Musabab rebahan selalu jadi pilihan. 

Maka, kemana akhir jalan lelah mu? 
Merapal setiap keluh, atau mengusap setiap peluh?

Huzaifah Ali Akbar (JE) di depok. 
16 feb 2020.