(Sepotong Puzzle Mentawai)
Kapan kiranya terakhir kali teman-teman berkunjung ke ladang? atau sawah? lalu menikmati semilir angin di gubuknya? menikmati kiacauan burung di paginya, makan siang dengan pemandangan sawah hijau terbentang di hadapan. Sungguh nikmat yang wajib disyukuri.
Tapi, bagaimana kalau teman-teman diberikan pilihan untuk hidup dan tinggal di gubuk tersebut? tanpa alas tidur, tanpa bantal kepala, bahkan gubuk tanpa dindig? ya, hanya ada lantai papan dengan atap daun sagu? berselimutkan dingin, dan bermandikan panas. Jika hujan mengguyur, basah seluruh badan, jika panas terik, peluh membasahi.
Demikian, apakah teman berkenan?
Alhamdulillah, atas nikmat Allah kami diberikan perjalanan paling mengesankan sejauh ini. Sebuah perjalan yang sarat akan makna, yang penuh akan hikmah.
cerita dibawah ini adalah sepenggal kisah perjalanan tersebut yang atas izin Allah dapat kami tarik kesimpulannya. Adapun kisah yang lain, maka hikmah dan pelajarannya terlalu sulit untuk digubah secara verbal.
Pagi itu, adalah hari pertama kami di dusun Sirisura, kecamatan saibi samukop, kab. kepulauan Mentawai. Di hari yang sama dengan kejadian “permen dan punggung yang bungkuk”, tulisannya sudah bisa teman-teman baca di blog ini.
Kami berkeliling dusun pagi itu, bersama dengan orang lokal yang ditunjuk sebagai pengurus muallag di dusun tersebut. Satu, dua rumah kami smabangi, menyapa penghuninya, bertanya keadaan, dan apa saja kendala hidup yang sedang berat untuk diselesaikan.
Hingga di tengah perjalanan, kami diajak masuk kedalam satu komplek perumahan. Ya, kami menyebutnya perumahan karena naytanya memang ada beberapa rumah disini. Rumah-rumah itu diisi beberapa anggota keluarga yang keseluruhan mereka berasal dari ayah yang satu. Artinya mereka hidup satu suku.
Penuturan Bapak yang membawa kami berjalan, menguak fakta bahwa sebagian besar mereka adalah muslim dan masih digolongkan sebagai muallafati quluubuhum. Pasalnya, karena mereka amat mudah berganti hanya untuk sekarung nasi.
Kalau kami melanjutkan deskripsi tentang keadaan mereka saat itu, mestilah amat sulit memindahkan rasa yang tampak ke dalam bentuk verbal yang kasat. Yang jelas, keadaan mereka jauh dari kata layak.
Pada satu sudut, kami terbelalak melihat sekumpulan anak yang masih kecil dengan seorang perempuan dewasa di dekat mereka. Kami bertanya “itu tempat tinggal mereka?” setelam melihat keadaan yang persis seperti gubuk peristirahatan sementara para petani di ladang.
“iya staz” jawab bapak yang menemani kami.
Kami mendekat, dan menyapa penghuni di dalamnya. bertanya keadaan, dan kendala yang sedang dihadapi.
Dari gubuk itu, kami mendengar banyak harapan. Tentang anaknya yang ia harapa segera dibawa berobat, tentang makannya yang ia harap dapat selamat, dan banyak harap lagi.
Terkait anaknya yang sakit, alhamdulillah bisa segera diselesaikan. Ada bidan utusan disekitar dusun itu.
Kemudian, anak kecil ini masih tetap berada pada pelukan ibunya sampai di pos kesehatan desa. Dari bilik dinding kayu pos kesehatan tersbut, kami mendengar sebab mengapa anak manis itu jatuh sakit. ia kurang ASI. dan kami tahu sebabnya. Bagaimana sang anak hendak diberi ASI sedang ibunya saja tak tahu apa yang hendak diberi?
Begitulah. pantas saja harapan-harapan yang keluar diatas gubuuk itu hanya berkisar pada keluhan hidup. Bagaimana mereka hendak belajar dangan lebih serius, sedang untuk makan saja mereka masih ragu. Lantas, pantaskan kami yang baru tiba langsung memaksa agar semua itu hadir, padahala tak ada pengganti selain kata kata. Allahummaghfirlana.
Gubuk pengharapan. Surga sederhana yang mengajarkan pada kami untuk senantiasa melihat keadaan dan memberi solusi. Bukan memaksa kehendak dengan tanpa pengganti.
0 Comments