Sesungguhnya keikhlasan
dalam beramal adalah syarat diterimanya, keikhlasan merupakan tangga
yang akan mengantarkan amalan itu ke tujuannya, Allah subhaanahu wa
ta’aala berfirman dalam surat Al-Bayyinah ayat 5:
﴿ وَمَآ
اُمِرُوْٓا اِلَّا لِيَعْبُدُوا اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ ەۙ
حُنَفَاۤءَ وَيُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوا الزَّكٰوةَ وَذٰلِكَ دِيْنُ
الْقَيِّمَةِۗ ٥ ﴾
5. Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar).
Imam Al-Bukhari berkata di dalam
kitab “Aljaami’ almusnad asshohih”, dan Imam Muslim di dalam kitab
“Almusnad asshohiih” –dan ini merupakan lafaz milik Imam Al-Bukhari- :
Abdullah bin Maslamah telah menceritakan kepada kami, beliau berkata:
telah mengabarkan kepada kami Malik dari Yahya bin Sa’id, dari Muhammad
bin Ibrahim, dari Alqomah, dari sahabat Umar radhiyallahu ‘anhu,
bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Perbuatan
itu tergantung kepada niatnya, dan setiap orang mendapatkan sesuai
dengan ia niatkan ”
.
Dan tidaklah para salafus shalih meraih apa yang
telah mereka raih (dari ilmu dan amal), tidaklah mereka sampai (kepada
derajat yang mulia), kecuali dengan mengikhlaskan niat kepada Allah
Rabbul ‘aalamiin.
Abu Bakr Al-Marwadzy rahimahullahu berkata: “Aku
pernah mendengar seorang laki-laki berkata kepada Abu Abdillah (Imam
Ahmad bin hanbal) dan menyebutkan tentang kejujuran dan keikhlasan, maka
Imam Ahmad berkata: “Dengan keduanya (jujur dan ikhlas) suatu kaum
terangkat derajatnya (yaitu para salafus sholih dari generasi para
sahabat, tabi’in dan tabiut tabi’in)”.
Sesungguhnya seseorang meraih ilmu sesuai dengan kadar keikhlasannya dalam mencarinya.
Ikhlas
dalam mencari ilmu memiliki 4 (empat) pondasi utama, yang dengannya
akan terealisasi niat seorang penuntut ilmu jika ia mau mengamalkannya:
- Menghilangkan kebodohan dari diri sendiri, yaitu dengan mengenal
kewajiban-kewajibannya dalam beribadah, melaksanakan perintah dan
menjauhi larangan.
- Menghilangkan kebodohan dari orang lain, yaitu dengan mengajarkan ilmu dan menunjuki mereka perkara-perkara yang baik bagi kehidupan dunia dan akhirat mereka.
- Menghidupkan ilmu dan menjaganya dari kepunahan.
- Mengamalkan ilmu.
Ilmu ibarat sebuah pohon, dan amal adalah buahnya, sesungguhnya ilmu itu dicari untuk diamalkan.
Para
salaf Rahimahumullahu takut kehilangan sifat ikhlas di dalam mencari
ilmu, maka mereka enggan mengaku-ngaku ikhlas, bukan karena mereka tidak
memiliki keikhlasan di dalam hati mereka.
Hisyam Ad-Dastuwaa’i
rohimahullahu berkata: “Demi Allah, aku tidak mampu untuk mengatakan
“pada suatu hari aku pergi untuk mencari hadits demi mengharapkan ridha
Allah semata”
Al-Imam Ahmad pernah ditanya: “Apakah engkau menuntut
ilmu hanya untuk Allah? Beliau menjawab: “Karena Allah! Itu sungguh
suatu perkara yang besar, akan tetapi itu adalah sesuatu yang aku dibuat
cinta kepadanya, maka aku berusaha meraihnya.
Barangsiapa yang menyia-nyiakan keikhlasan maka sungguh ia telah luput dari ilmu yang banyak dan kebaikan yang melimpah.
Maka
sepatutnya bagi mereka yang mengharapkan keselamatan (dari sifat tidak
ikhlas) untuk memperhatikan dengan baik pondasi utama ini -yaitu
keikhlasan- dalam setiap urusan entah urusan besar maupun yang kecil,
disaksikan manusia atau tidak, dan konsekuensi dari memperhatikan hal
ini adalah memperbaiki niat.
Sufyan At-Tsaury rahimahullahu berkata:
“Tidak ada sesuatu yang paling sulit untuk aku obati selain daripada
mengobati niatku, karena niat itu selalu berbolak-balik”.
Bahkan
Sulaiman Al-Hasyimi rahimahullahu berkata: “Bisa jadi tatkala aku
menyampaikan satu hadits aku memiliki satu niat, ketika aku sampai pada
pertengahan hadits tiba-tiba berubahlah niatku, sampai bisa jadi dalam
satu hadits butuh kepada beberapa niat”.
0 Comments