Diantara bentuk pengagungan seseorang terhadap ilmu adalah, ia berusaha
menjaga dirinya dari perbuatan yang dapat mejandikan ilmu itu dipandang
rendah oleh orang orang.
Syaikh Shaleh Al-Ushaimi menyebutkan point ini secara khusus dalam kitab "TA'DZHIMUL 'ILMI" , beliau menuliskan :
"Barang siapa yang tidak menjaga ilmu, maka ilmu tidak akan menjaganya." (Imam Syafi'i)
Siapa
saja yang tidak memperhatikan marwah ilmu dan terjerumus ke dalam
perbutan yang mencemari kemuliaan ilmu tersebut, maka sungguh ia telah
menghinakan dan merendahkan ilmu, bahkan tanpa ia sadari. Perbuatan
demikian bisa saja menjadikan orang yang tadinya dikenal sebagai ahli
ilmu atau penuntut ilmu, menjadi terhina dan tak lagi disegani. mengapa
demikian? karena orang yang menisbatkan diri kepada ilmu, harusnya
pandai dan tahu cara mengagungkan ilmu, bukan malah sebaliknya,
melakukan hal hal konyol yang dapat menjaddikan ilmu yang ada pada
dirinya, rendah dan hina. Ketika ilmu itu sudah tak lagi bersama
dirinya, maka kebathilanlah yang akan masuk dan menguasai gerak gerik
hidupnya.
Wahb Bin Munabbih berkata :
لا يكون البطال من الحكماء
orang yang sering jatuh pada kebathilan, mustahil menjadi orang bijak (haakim).
Para
ulama menjelaskan, bahwa hikmah yang dimaksud pada perkataan Wahb di
atas adalah ilmu. Sebagaimana yang banyak tersurat di dalam Al-Quran.
Artinya, siapa saja yang tak padai mejaga marwah ilmu, maka akan
terlepaslah ilmu itu dari dirinya. Dan barang siapa yang sudah terlepas
dari ilmu, maka seluruh gerak geriknya akan tak terkontrol, hingga
mejauh dari petunjuk, melenceng kepada kebathilan.
Lalu, apa itu marwah (muruah) ?
Kakeknya
Ibnu Timiyyah (yang namanya juga masyuhur dnegan Ibnu Taimiyyah)
menyebutkan dalam kitabnya "al muharrar" dan perkataan beliau juga
diikuti oleh cucunya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tentang pengertian
global terhadap kalimat marwah :
استعمال ما يجمله ويزينه, وتجنب ما يدنسه ويشينه
Ia adalah mengerjakan apa apa yang menghiasi sesuatu dan menjadikannya
elok, serta menjauhi apa-apa yang dapat menjadikan sesuatu tersebut
tercemar dan terhina.
Dikatakan kepada Abu Muhammad Sufyan Ibn
‘Uyainah: “Sungguh engkau telah mengistinbath Alquran (mengeluarkan
hukum dan makna-makna yang dikandungnya) seluruhnya, maka (di ayat
manakah) sifat muru’ah itu? Beliau menjawab: “Di dalam firman Allah
‘azza wa jallaa dalam surat Al-A’raf ayat 199:
﴿ خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَاَعْرِضْ عَنِ الْجٰهِلِيْنَ ١٩٩ ﴾
199. Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.
di dalamnya ada sifat muru’ah, adab yang baik, dan akhlak yang mulia”.
Diantara
adab yang mesti dipraktekkan oleh seorang penuntut ilmu kepada dirinya
adalah berhias dengan sifat muru’ah, dan hal-hal yang membantu untuk
bersikap muru’ah, menjauh dari hal-hal yang merusak muru’ah semisal
mencukur jenggot, hal itu dianggap perusak muru’ah sebagaimana pendapat
Ibnu Hajar Al-Haitami dari mazhab Syafi’i dan Ibnu ‘Abidin dari mazhab
Hanafi, atau (contoh lainnya) terlalu banyak menoleh di jalanan, hal itu
dianggap perusak muru’ah sebagaimana pendapat Ibnu Syihab Azzuhri dan
Ibrahim An-Nakha’i dari kalangan ulama mutaqaddimiin, atau (contoh
lainnya) adalah menyelonjorkan kaki di hadapan sekumpulan orang (ketika
duduk) tanpa ada kebutuhan atau hal-hal yang bersifat darurat, hal itu
dianggap perusak muru’ah oleh sekelompok para ulama diantaranya Abu Bakr
At-Thortusyi dari mazhab Maliki dan Abu Muhammad Ibnu Qudamah serta
Abul Wafa’ Ibnu ‘Aqil dari mazhab Hanbali, atau contoh lainnya adalah
berteman dengan orang-orang yang buruk, fasik, gila, dan pengangguran
(enggan bekerja), hal itu dianggap perusak muru’ah oleh sekelompok
ulama, diantaranya Abu Hamid Al-Ghozali, Abu Bakr ibnut thoyyib dari
mazhab Syafi’i, serta Al-Qadhi ‘Iyadh Alyahshuby dari mazhab Maliki,
atau contoh lainnya, berseteru dengan anak kecil, hal ini dianggap
perusak muru’ah oleh Ibnul Humaam dan Ibnu Nujaim dari mazhab Hanafi.
Barangsiapa
yang merusak muru’ahnya (dengan hal-hal di atas) sedang ia menisbatkan
dirinya kepada ilmu maka sungguh telah terbuka kedoknya di hadapan para
ulama (al-khaas) dan orang awam (al ‘aam), dan ia tidak mendapat
kemuliaan ilmu sedikit pun kecuali hanya rongsokannya saja.
0 Comments