BERHARAP, BERJUANG, BERGEMBIRA.

 

Hujan masih awet sejak semalam. Sepertinya Bumi bergembira pagi ini, atas berkah yang turun tak henti. Mentari dengan segala hormatnya membiarkan Bumi untuk tetap menari di antara riuh air yang membasahi.

Malam tadi, aku membaca pesan dari admin Marsua Media yang mengirimkan sebuah ebook panduan menulis antologi. Aku baca dengan seksama paragraf demi paragrafnya, hingga sampai pada kalimat "Untuk judul buku yang akan kita tulis adalah : HARAPAN ITU MASIH ADA"

Aku tertegun. Menerka nerka. Apa kiranya tulisan yang cocok untuk aku kirimkan sebagai konsekuensi bergabung dalam program menulis bareng ini? Aku ingin bercerita tentang diri sendiri, tapi rasanya kehidupanku terlalu datar untuk bisa menjadi inspirasi banyak orang. Menuliskan cerita orang lain? hmmm, siapa kiranya orang yang pantas menjadi tokoh utama ceritaku? terlalu banyak orang hebat yang pernah aku temui, dan keseluruhan mereka punya kisah menakjubkan untuk bisa diceritakan.

Hingga akhirnya, Aku memilih kisah juang seorang sahabat yang kini sudah bahagia dengan impiannya. Oh bukan, bukan hanya dengan mimpinya, tapi dengan kisah juangnya yang baru. Dan aku, adalah salah satu saksi perjalanan penuh kesabaran itu.

Aku mengenalnya lebih dari 8 tahun yang lalu. Di kelas kelas  pesantren yang saat itu menjadi tempat kami melafalkan ayat ayat Al-quran, mempelajari hadits hadits Nabi shallallahu ‘alahi wasallam, serta mengkaji hukum hukum keislaman. Di salah satu sudut kota yang kental akan budaya melayu, Pekanbaru.

Ia adalah sosok yang mudah bergaul, cukup heboh, dan sedikit tempramen.

Di pesantren dahulu, ia sering menjadi tempat pengaduan macam masalah, tempat keluh kesah banyak adik adik kelas, juga tempat  terbaik untuk meminjam uang bagi mereka yang membutuhkan. Hehehe.

Kisah yang aku akan ceritakan adalah kisah kesabarannya  dalam menanti, kesabaran dalam berusaha, serta kesabaran dalam menggapai harapan.

Setelah selesai masa belajar di pesantren, kami mulai meraba raba. Kemana baiknya melangkah untuk  melanjutkan belajar? Kami sering duduk berdiskusi, bertukar pikiran, membuka website website kampus ternama, kirim kirim berkas mencari besiswa.  Hingga setelah pembicaraan panjang itu, kami memutuskan untuk terbang ke ibu kota, Jakarta.

Di Jakarta, kami memilih sebuah lembaga islam milik Arab Saudi sebagai tempat belajar kami selanjutnya. Tempat yang menawarkan ragam fasilitas dan keistimewaan, dengan full beasiswa alias gratis tanpa bayar sepeserpun. Namun, tentu sebagaimana umumnya tempat yang menawarkan beasiswa full, kami akan diproses, diuji kelayakan. Dan dari sinilah perjalanan kesabaran itu bermula.

Ketika itu, teman teman yang satu tujuan, termasuk sahabat ku ini. Memilih jalur persiapan bahasa sebagai ujian pertama kami. Dan hasilnya dari 2000 pendaftar yang ikut tes, 300 orang yang bisa lolos ke tahap selanjutnya, tahap interview. Masalahnya, sahabatku ini tidak lolos sedang seluruh teman teman kami lolos.

Setelah mengetahui hasil yang demikian, aku tahu, hatinya pasti kacau. Aku melihat bagaimana ia bersedih, bagaimana bulir air mata itu jatuh ketika  melihat kami yang atas nikmat Allah diterima di tempat tersebut, berangkat di pagi hari. Aku memperhatikan itu tanpa ia sadari.

Kesabarannya benar benar teruji. Walau sudah dinyatakan tidak lolos, ia masih memberanikan diri datang ke kantor lembaga tersebut, berusaha meyakinkan pihak lembaga agar meloloskannya untuk bisa belajar di tempat mereka. Ia bahkan pernah masuk ke ruang kelasku untuk kemudia duduk di bangku paling belakang menyimak pelajaran. Buka itu saja, ia bahkan berusaha mendekati salah seorang dosen yang cukup dikenal dan berpengaruh agar kiranya mau membatu dia untuk memberikan rekomendasi kepada pihak penerimaan mahasiswa. Dan untuk sementara itu, hasilnya nihil.

Ia patah semangat? Tidak. Sembari menunggu tes di semester selanjutnya, ia belajar di salah satu lembaga lain di sekitaran Jakarta. Belajar dari satu majlis ke majlis lain, tetap mendatangi kampus kami, terus menjalin hungungan dnegan dosen dosen , hingga akhirnya peluang tes itu kembali dibuka. Ia ikut serta di dalamnya. Ia berhasil lolos tes pertama dan masuk ke interview pribadi. Setelah berhari hari menunggu hasil tes, akhirnya pengumuman kelulusaan keluar, dan ia masih ditolak.

Iya, sahabatku ini masih belum berhasil begabung dengan  lembaga itu. Namun sekali lagi, apa ia patah semangat? TIDAK, sama sekali tidak. Ia masih sabar menunggu pembukaan pendaftaran di tahun berikutnya. Tentunya seluruh ritual yang biasa ia kerjakan tetap terus berjalan.

Bergantilah tahun dengan tahun yang baru, dan sahabatku ini masih terus bersabar menanti harapnya dapat terkabul. Akhirnya, di percobaan yang ketiga, ia berhasil. Dosen penguji yang sudah berkali kali ia temui, kenal betul dengan semangat dan kesabarannya. Ia lulus, dan bergabung bersamaku dan teman teman lainnya yang sudah lebih dahulu masuk ke lembaga ini. Alhamdulillah.

Mungkin pembaca bertanya,” kenapa sih dia masih ngotot untuk masuk padahal sudah ditolak, kan itu tandanya ia memang ta layak di tempat tersebut?”.

Mungkin pembaca benar, namun yang mesti diketahui, sahabat yang satu ini cerdasnya MasyaALLAH.  Sejak di pesantren dulu, kami sering berebut posisi ketiga dan kedua. Dan satu lagi, dalam dunia ilmu, seringkali sikap ngotot seperti itu sangat disukai.  Layaknya seorang murid Imam Ahmad yang ters terusan dating kerumahnya padahal ia sedang diharamkan mengajarkan ilmu. Tapi, semangat itulah yang membuat Imam Ahmad luluh dan akhirnya memenuhi harapan sang murid untuk mendengar hadits hadits Nabi yang beliau riwayatkan.

Mungkin, bagi sebagian orang kisah sahabatku ini tidak terlalu menginspirasi. Tapi percayalah, semangat dan kesabarannya begitu terasa jika kalian di posisiku. Hanya saja, pilihan diksiku kurang tepat sehingga cerita yang kusampaikan tak telalu memikat.

Dari sosoknya aku belajar apa yang harus dilakukan setiap pemimpi. Darinya aku belajar rasa sabar, rasa yakin, dan rasa percaya bahwa untuk kita, ada Rabb yang mendengar setiap pinta, yang menjawab setiap harap.

Darinya dan orang semisalnya, aku belajar, bahwa untuk hari esok yang lebih baik harus ada satu keyakinan, yaitu keyakinan bahwa harapan yang dimimpikan itu masih ada jika mau berusaha.

----------------------------------

Dari buku "Harapan itu masih ada" sebuah buku natologi pertama dari penulis.

Post a Comment

0 Comments