YANG KITA BUTUHKAN DALAM BERDAKWAH


Diantara faedah mujalasah kami pagi tadi menemani seorang ustaz bertemu salah satu kibar asatidz di kota Pekanbaru adalah, pentingnya 2 hal dalam berdakwah. Beliau mengutip perkataan syaikh Utsaimin Rahimahullah yang mengatakan : kita ini, di hari hari ini butuh pada ketajaman dalil dan logika dalil."

Beliau hafidzahullah memberikan permisalan tentang masalah ini.

"anggap saja kita memiliki sebilah pedang, tajam. Akan tetapi kita tak pandai memainkan pedang tersebut. Alih alih membunuh lawan, yang terjadi malah pedang tersebut melukai diri sendiri. Mungkin saja karena kebodohan kita yang tak pandai menggunakannya, sehingga mata pedang kita arahkan ke badan sendiri. Atau lawan yang lebih jago memainkan pedang, sehingga ia gunakan pedang kita untuk menyerang kita"

"seperti itulah" lanjut beliau, "kita punya seabrek dalil yang sohih, sorih, dan kita paham betul maksud dalil tersebut. Akan tetapi, kita tak pandai menggunakan dalil tersebut. Alhasil, niat hati ingin mematahkan argumen penentang syariat, malah dibuat terdiam dengan dalil sendiri.

Inilah salah satu kepandaian para pendakwah kebathilan. Mereka pandai mengotak ngatik dalil, menggunakan logika dalil, lalu mengarahkan setiap dalil yang awalnya menyerang menjadi senjata buat dirinya. Maka, selain dalil yang tajam, kita harus juga memiliki pemahaman terhadap logika dalil, sehingga kita dapat meletakkan dalil yang tepat di tempat yang tepat"

Kemudian beliau memberikan sedikit penjelasan dengan contoh simple. kisah Nabi Ibrahim yang menghancurkan sesembahan kaumnya, hingga ia disindang oleh Raja, merupakan salah satu contoh sederhana dalam penggunaan logika dalil. Beliau nyatanya sudah memiliki bukti akan kelemahan dan ketidakberdayaan patung patung tersebut, akan tetapi, ketika ditanya apakah engkau yang menghancurkan Tuhan Tuhan kami ini wahai Ibrahim? Beliau tidak serta merta menjawab "iya". Akan tetapi beliau menyiapkan pertanyaan balik dengan harapan mereka akan berargumen dengan perkataan yang nantinya akan membuat mereka berpikir sendiri. Nabi Ibrahim memberikan pertanyaan "tanyakan kepada mereka, jika memang mereka dapat bicara".

Dan nyatanya memang begitu, mereka menjawab "Ini hanyalah sebongkah batu yang dipahat, tak dapat bicara, engkau pun tahu itu".

Naah, jawaban seperti inilah yang Nabi Ibrahim tunggu. Jawaban yang menjadi senjata kuat Nabi Ibrahim untuk menyadarkan kaumnya. Beliau berkata "Lalu, kenapa kalian menyembah selain Allah, padahal apa yang kalian sembah tak dapat memberi manfaat dan tak dapat pula menolak mudhorot. Sungguh celaka kalian dan apa yang kalian sembah. Tak pernahkah kalian berpikir?"

Lalu, kami melanjutkan pembicaraan dengan beliau setelah menyeruput minuman sarang burung yang kami siapkan sendiri untuk kami sendiri.

"itu semua, logika dalil, logika dakwah, tak bisa didapatkan hanya dengan membaca satu dua kitab. Butuh menelaah banyak kitab untuk bisa menyimpulkan dan mengeluarkan logika sebuah dalil. Jangan mentang mentang baru selesai membaca satu dua kitab, berlagak seperti Mufti, menjawab setiap tanya, menyelesaikan setiap masalah"

Benar sekali, kita ini butuh kembali, kemlai ke majlis para ulama, kembali membuka kitab para ulama, dan kembali membumikan diri, agar paham kondisi.

Perbincangan kami masih berlanjut, tepatnya obrolan ustadz yang kami temani ini masih berlanjut dengan Kibar asatidz tersebut. Sedangkan kami, harus kembali ke rumah untuk satu dua hal. Sambil berjalan, kami mengiyakan ucapan Kibar asatidz tersebut.

Kita masih terlalu sedikit membaca, sedikit bertanya, sedikit mendengar. Pinginnya cepat menjadi besar, menjadi pembicara, menjadi tenar. Padahal, hal kecil semacam tau tempat dalam bicara saja, sering kita lalai kan. Kita luput dari berbicara dengan hikmah, bermua'malah dengan senyum. Yang kita tahu hanyalah "ini madzhabku, yang selainku... Enyahlah"

Di banyak keadaan, logika dakwah seperti di atas sangat kita butuhkan. Terutama kita yang punya panggung wicara di khalayak. Kita harus punya cara memainkan logika tanpa merusak dalil, tanpa mengotak ngatik dalil. Kita hanya butuh pendekatan.

Kami beri sedikit contoh :

Misalkan ketika kita ingin menyampaikan permasalahan bid'ah, kita bisa mengajukan permisalan yang lebih disepakati dibanding permisalan yang jelas jelas akan ditentang. Tak perlu kita misalkan dengan bid'ahnya perayaan maulid nabi di tempat yang tiap tahunnya merayakan maulid. Katakan saja penambahan raka'at dalam shalat adalah hal baru yang tampak baik namun tertolak. Permisalan seperti ini lebih masuk dengan jalan pikiran audience. Sehingga nantinya ia akan menggunakan logika tersebut ke hal hal lain, termasuk kepada perayaan maulid nabi.

Memang kebenaran tetap harus disampaikan walaupun pahit dan ada perlawanan. Tapi, apa kita tak punya cara yang lebih hikmah dalam menyampaikan? #linatafakkar (sambil jari telunjuk mengarah ke pelipis kanan).

Kami kembali ke ruang tamu, tempat ustadz yang kami temani tersebut bercakap dengan kibar asatidz tadi. Menyimak beberapa Petuah, berdiskusi beberapa masalah.

Lalu, ustadz ini pamit. Kami mengantar beliau ke gerbang pagar. Kemudian "ma'as salamah Huzaifah"



Post a Comment

0 Comments