PENJARA JASAD, BUKAN SEMANGAT

.
Mereka yang terpenjara, mereka yang dikarantina, mereka yang berkarya, mereka yang mendunia.

"ini penjara, kami tak bisa berbuat apa apa" teriaknya di sosial media.

Covid-19, nCov-19, corona, epidemi. wabah, pandemi. atau apalah namanya itu sedang menjadi topik hangat belakangan ini. "bumi tengah rehat", kata mereka menimpali. dan memang, pandemi ini sudah merubah tatanan hidup banyak lini. ekonomi negara terdampak merosot jatuh, kajian ilmu terhenti, kegiatan sosial tak terkendali. tagar #work_from_home merajai deretan tagar di semua media sosial. lock down daerah terdampak dilakukan, manusia tak bebas bergerak, terkungkung dibalik tagar #dirumahaja.

Saya sedang tak ingin bahas dampak pandemi ini. tidak dari sisi keagaman, tidak pula dari sisi dunia. Terlepas dari orang orang yang menjagokan diri mereka paling takut dengan tuhan, saya ingin keluar dari bilangan kedunguan itu menuju satu pertanyaan. Ada apa dengan kita dan karantina rumahan?

Dahulu, pada masa kekhalifahan umar bin khattab radhiyallahu 'anhu, tahun 17-18 H/sekitar 638-639 M, ketika itu, daerah syam lebih tepatnya amwas, tengah dilanda sebuah wabah yang mematikan, membunuh lebih dari 25 ribu manusia, menghancurkan ekonomi, mengacaukan jalan kehidupan. Umar bin khattab yang kala itu hendak berkunjunng ke syam menghentikan langkahnya,bertukar pikiran dengan tetua para sahabat, lalu kemudian memutuskan untuk lari dari takdir Allah (masuk ke syam) menuju takdir Allah yang lain (pulang ke madinah). Keputusan tersebut diambil setelah Abdurrahman bin ‘auf datang dan menyebut satu perkataan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam yang maknanya berbunyi : “jika kalian mendengar ada satu wabha dalam satu negri , maka jangan kalian masuk ke dalamnya, dan jika wabah itu menimpa daerah tempat kalian tinggal, maka jangna keluar dari daerah tersebut”

Pada tahun tersebut, masjid masjid dikosongkan, untuk menghindari adanya penyebaran wabah ke khalayak, sebagaimana dikisahkan oleh ibnu hajar dalam kitabnya al ma’un fi fadhli tha’un. Orang orang dipindahkan ke puncak puncak puncak gunung, antara yang sehat dan terdampak dipisahkan, lock down dilakukan, social distancing dikerjakan. Dan semuanya, seperti hari hari ini, beberapa daerah dikarantina, kita disuruh menerapkan phisycal distance (menjarakkan fisik) dan self isolation.

Berbicara tentang self isolation atau karantina diri sendiri, artinya kita berbicara tentang waktunya menyendiri, jauh dari khalayak, jauh dari kerumunan, dan jauh dari kehiruk pikukan. Lalu, seperti pertanyaan kita diatas, ada apa dengan kita dan karantina rumahan?

Syahdan, para ulama dahulu ada yang di halangi dari bertemu manusia. Mereka dihalangi untuk belajar dan mengajar, bhakn, sebagian mereka dipenjara. Tapi, apakah dengan terbatasnya ruang gerak mereka, mereka lupa untuk bersemangat, apakah mereka lupa untuk belajar dan berkarya? Ini yang memnajdi topik bahasan kita kali ini, tentang mereka yang terpenjara jasad, bukan semangat.


Penulisan kitab Al Mabsuuth

Tersebutlah kisah seorang imam besar yang bernama Muhammad bin Ahmad bin Abi Suhail Assarkhasiy, pemilik kitab fenomenal al mabsuth. Al lankawi menukilkan bahwasanya beliau (assarkhasiy) mendiktekan kitab beliau yang berjumlah 15 jilid tersebut di masa masa kurungan beliau. Ya, beliau dipenjara di sebuah sumur akibat nasehat yang beliau sampaikan pada salah satu penguasa padda saat itu (Khaqaan). Kitab tersebut (al mabsuuth) beliau diktekan tanpa melihat kitab apapun, atau semua tanpa teks di saat belaiua berada di dalam sumur sedangkan murid muridnya berada di bibir sumur mencatat. Kejadian ini dipertegas dengan perkataan beliau akan kondisinya dalam kitab tersebut. Dalam salah satu bagian dari kitabnya beliau mengatakan :


هَذَا آخِرُ شَرْحِ الْعِبَادَاتِ بِأَوْضَحِ الْمَعَانِي وَأَوْجَزِ الْعِبَارَاتِ، أَمْلَاهُ الْمَحْبُوسُ عَنْ الْجَمْعِ وَالْجَمَاعَاتِ مُصَلِّيًا عَلَى سَيِّدِ السَّادَاتِ مُحَمَّدٍ الْمَبْعُوثِ بِالرِّسَالَاتِ وَعَلَى أَهْلِهِ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، تَمَّ كِتَابُ الْمَنَاسِكِ وَلِلَّهِ الْمِنَّةُ وَلَهُ الْحَمْدُ الدَّائِمُ الَّذِي لَا يَفْنَى أَمَدُهُ، وَلَا يَنْقَضِي عَدَدُهُ.


“ini merupakan akhir dari bab ibadah, yang telah disyarah dengan jelas dan kalimat yang ringkas, didiktekan oleh seorang yang terhalang dari berkumpul dan berkerumun……..dst.”

Tentang sayikhul islam yang mendunia.

Kisah tentang dipenjaranya syaikhul islam ibnu taimiyyah bukan lagi ha lasing bagi mereka yang menilik kisah perjuangan para ulama. Beliau rahimahullah sering kali keluar masuk bui karena kekeuh nya beliau di atas dakwah sunnah dan islam ini. Tercatat sebanyak 12 kali belaiu masuk ke dalam penjara dalam masa pemerintahan yang berbeda beda.

Murid beliau ibnu abdul hadi memceritakan tentang gurunya dalam kitab al ‘uquud ad durriyah min manaqib syaikhul islam ahmad bin taimiyyah :

وللشيخ من المصنفات والفتاوى والقواعد والأجوبة والرسائل وغير ذلك من الفوائد مالا ينضبط ولا أعلم أحدا من متقدمي الأمة ولا متأخريها جمع مثل ما جمع، ولا صنف نحو ما صنف ولا قريبا من ذلك، مع أن أكثر تصانيفه إنما أملاها من حفظه وكثير منها صنفه في الحبس، وليس عنده ما يحتاج إليه من الكتب.

Syaikh memiliki banyak tulisan, baik itu buku, fatwa,qaidah qaidah dasar, jawaban atas problematika, risalah risalah kecil, dan sebagainya, yang tak aku ketahui seorangpun dari umat ini, baik pendahulunya maupun yang baru baru, yang dapat mengumpulkan seperti apa yang dikumpulkan syaikhul islam. Yang lebih hebat lagi, bahwa kebanyakan tulisan beliau dirampungkan di saat beliau di dalam penjara. Baik dengan cara beliau mendiktekan muridnya dari hafalannya, ataupun beliau menulis sendiri dengan tangannya. Dan itu semua beliau lakukan tanpa ada kitab rujukan yang menjadi sandaranbeliau ketika di dalam penjara.

Allahu akbar, semangat juang mana lagi yang hendak kita jadikan teladan wahai penuntut ilmu sekalian?

Penjara, bukan berarti mati dan berhenti berkarya. Pengasingan, bagi orang orang seperti mereka adalah surga. Yang menjadi taman menyejukkan setelah lama dikepung kebengisan dunia.


Social distance, bukan halangan

Adalah imam Ahmad, imamnya madzhab hanbali. Yang pada saat fitnah khalqul quran dilarang untuk memberikan pelajaran dan didatangi pelajar. Namun, semangat ajar beliau begitu besar hingga mensiasati salah seorang muridnya yang datang jauh dari luar baghdad untuk berpura pura menjadi seorang pengemis untuk nantinya dating setiap hari ke rumah beliau, kemudian beliau akan diktekan satu hadits pada murid belliau tersebut.

Lihatlah pada semangat berbagi dalam menjaga hadits nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Di saat beliau diharuskan social distance (membatasi interaksi social), namun semangat itu tak pudar di batas juang. Beliau hidup untuk terus membumikan hadits nabi, agar tak hilang di bumi. Afala yatafakkaruun??

Agar tak terasa jauh

Tak luput, aku kisahkan tentang seorang pahlawan Indonesia, ulamanya, sastrawannya, mufassirnya. Buya Hamka.

Ulama kenamaan ini sewaktu dipenjara oleh rezim Orde Lama malah bisa menghasilkan karya tulis besar: Tafsir Al-Azhar. Bagi beliau, dipenjara justru ada rasa syukur tersendiri karena bisa mendapat waktu luang untuk merampungkan tulisan. Simak kata beliau dalam pembukaan Tafsir Al-Azhar (1987: 53) ini.

“Tuhan Allah rupanya,” tulis Hamka, “menghendaki agar masa terpisah dari anak isteri dua tahun, dan terpisah dari masyarakat, dapat saya pergunakan menyelesaikan pekerjaan berat ini, menafsirkan al-Qur`anul Karim. Karena kalau saya masih di luar, pekerjaan saya ini tidak akan selesai sampai saya mati.”

Lihat betapa bagi pejuang, dalam penjara pun masih bisa bersyukur. Tidak pernah ada rasa putus asa, kemudian berhenti berjuang. Malah, dengan begitu mereka memiliki banyak waktu untuk instrospeksi diri dan semakin dekat dengan Ilahi. Bahkan di sela-sela itu, juga disempatkan untuk berkarya.

Isolasi bukan berarti mati. Penjara bukan bermakna stop berkarya. Karantina bukan modal rebahan saja.

Akan tetapi, sendiri adalah waktunya menyepi. Menjauh dari hingar bingar dunia, mendekat pada Sang kuasa.

Sepi adalah surga, sendiri adalah neraka. Maka terserah kita akan memilih, apa menelusur jalan nestapa, atau merapah kisah para ulama.

Karena kita, BUKAN JABBARIYYAH.